
Aku membaca surat dan puisimu semalaman berulang-ulang. Semacam tidak ada orangnya sedang berhadap-hadapan dan tertidur pulas di pelukanmu sampai pagi menyerang.
Masih terbangun dengan mimpi indah yang sama, ah sempurna.
Bahagia.
Bandung siang yang mendung. Di saat aku selesai meletakan ponsel dan memandang matamu yang seteduh payung. Lelakiku, katakan padaku. Aku harus bagaimana?
Ibu tadi berbicara dari balik panggilan suara. Memintaku untuk
pulang dari bertualang. Kali ini intonasinya keras sekali. “Sampai kapan mau
begini?! Sampai kapan mau sesuka hati kesana kemari?!”. Ah,, ibu.. Anakmu juga sudah lelah.
Dedaunan teduh di Kampung Daun ini menjadi saksi, bahwa aku
tidak ingin berpisah denganmu lagi. Kapankah mimpi kita bisa terangkai dan
terbang tinggi semampai?
Sedangkan kita sama tahu, waktu tidak mungkin akan menunggu.
Bukankah engkau yang pernah bilang menunggu itu pahit? Menunggu itu jemu?
Ada
lebih dari ratusan hari, lebih dari delapan ribuan jam, lebih dari lima ratus
ribuan menit, puluhan ribu kerinduan, bermilyaran harapan.Tentang kita,
tentang hujan, tentang awan, tentang angka dua puluh tujuh, tentang Medan,
tentang Makassar.
Tentang Bandung, di mana aku pertama kali bertemu pria bermuka bingung. Tentang Losari, di mana aku menerima pelukan lapang di bawah senja berwarna tembaga matang. Tentang Pulau Lae-lae dan ukiran nama kita di pohon penahan hujan. Tentang malam yang tua, kita menatap bintang dari dermaga tak bernama.
Tentang lagu-lagu kita yang selalu bercerita. Tentang rindu akan dada kirimu dan selalu ingin dapat berlabuh di situ sampai akhir waktu. Tentang semuanya, aku tidak bisa melepaskannya.
Tentang Bandung, di mana aku pertama kali bertemu pria bermuka bingung. Tentang Losari, di mana aku menerima pelukan lapang di bawah senja berwarna tembaga matang. Tentang Pulau Lae-lae dan ukiran nama kita di pohon penahan hujan. Tentang malam yang tua, kita menatap bintang dari dermaga tak bernama.
Tentang lagu-lagu kita yang selalu bercerita. Tentang rindu akan dada kirimu dan selalu ingin dapat berlabuh di situ sampai akhir waktu. Tentang semuanya, aku tidak bisa melepaskannya.
Siang ini ada bergelas-gelas air mata dalam pelukanmu tertampung. Lelakiku, ini tanganku. Tuntunlah aku menuju jalan cinta penuh cahaya. Aku ingin tetap menikmati hujan dengan tertawa. Aku tetap ingin menatap bintang dengan riang. Aku tetap ingin menghabiskan matahari tenggelam dengan pelukan. Denganmu, sumber kebahagiaanku.
Namun, jika ini memang harus berakhir di sini. Biarlah ini
menjadi kenang yang tenang. Tidak mengusik. Tidak menjadi pedang mata dua yang
saling menyakitkan.
Aku percaya semua ini hanya titipan dan nantinya setiap
orang akan meninggalkan. Bedanya, meninggalkan dengan senyuman atau dengan
kepedihan. Namun, aku bisa apa? Katakan padaku wahai lelakiku?
Lelakiku... Jika dunia tidak mengizinkan kita bersama. Semoga
nirwana berbaik hati mempertemukan kita di sana. Aku akan menantimu kelak di
pintu surga. Dan engkau akan tetap menjadi pengantin pria dalam hatiku.
Genggamlah suratku ini. Untuk kau baca kapanpun kau mau. Dan
kaucatat setiap tulisanku sebagai janji yang disaksikan awan berseri.
Aku mencintaimu tanpa tepi.
Aku mencintaimu tanpa tepi.
Kampung Daun, Bandung.
[N]
Sebuah balasan terakhir untuk: Puisi Khusus Untukmu
3 komentar:
awesome...
tentu sangat beruntung menjadi seorang lelaki dalam tulisan ini...
Siapakah lelaki yang beruntung itu ya? :)))
Btw, makasih ya..
:')
bagus kak tulisannya
Posting Komentar