Hujan di Beranda

Hujan di Beranda

Rabu, 30 Januari 2013

Surat dari Iboih


Baru saja kaki menapak ke dermaga Pantai Iboih di Pulau Weh. 

Seseorang menyapa saya, teman lama bersama kekasihnya, rupanya mereka sedang berbulan madu di sini. 

Ia menanyakan kamu. Saya tergugu, rasanya ingin bisa berkata sepertimu mengakui keberadaan saya bahwa “Ada di sini” sambil menunjuk hati. Sayangnya lidah saya kelu walaupun tangan sudah memegang dada kiri.

Saya adalah sebenar-benar pecundang.

Terkadang yang kita perlukan hanya jauh dari keramaian dan mengosongkan pikiran. Membiarkan langit mewarnakan hati yang juga biru, menontoni matahari yang meninggi lalu pergi tinggalkan bumi.

Sesaat langit sabang menjadi kelabu di mataku dan merasa ada angin membawa aroma hujan ke hadapanku. Ah, kamu... Selalu datang dalam rupa apa pun.

Saya lalu berjalan di tepian pantai. Ada beragam kenangan berkelebat di sana. Lewat diam-diam, mengendap, sampai yang berjalan buru-buru dan menabrak saya. Lebam-lebam saya dibuatnya.

Pantai, air jernih, langit biru, awan bergumpal, hujan, senja berwarna tembaga, debur ombak, genggaman tangan, pelukan.

Ah, hantaman ini terlalu dalam. Lebih baik saya kembali ke tempat tidur, menenggamkan mata berair di balik bantal atau setumpuk buku. Belakangan ini saya selalu melakukannya seperti itu dan terbangun dengan kondisi hati porak poranda.

Mimpi. Seandainya saya boleh memilih mimpi. Tentu tidak akan seperti ini. Saya akan memilih menjadi wanita yang setiap pagi merapikan dasi atau yang membangunkanmu dengan sebuah ciuman dan setangkup roti.

Seandainya boleh memilih mimpi. Saya akan memilih untuk kembali ke titik nol, di Bandung, bertemu seorang pria yang sama-sama tersenyum saat menatap hujan. Bukan seperti lainnya yang penuh keluhan.

Tidak ada yang gampang untuk berpisah dengan orang yang disayangi, Apalagi orang tersebut adalah kamu yang telah merenggut penuh hati saya.

Kemarin, ketika Ibu menemukan wajah sembab saya tertidur, paginya beliau berkata, “Ikhlaskan saja untuk semua perpisahan. Berpisah di bumi belum tentu berpisah di hati.

Ah, Ibu...

Berpisah di bumi belum tentu berpisah di hati

Kata-kata itu membuat air pantai ini menjadi begitu asin di bibirku. Hatimu masih saya simpan dengan baik. Dan ini, saya kembalikan. Maaf, saya tidak bisa lagi menjaganya.

Saya selalu berharap bahwa kamu bahagia dan baik-baik saja. Saya, selalu memperhatikanmu, di balik tempat yang tidak kamu ketahui dan mendoakan untuk kebaikanmu. Saya tidak bisa lagi menyeduhkan sepoci teh untuk kita nikmati bersama di teras milik kita.

Jaga kesehatan, jangan tidur terlalu malam dan jangan sakit-sakit ya.

[N]

Surat ini balasan untuk: Aku dan Malam Tadi

Tidak ada komentar: