Dulu, ada seorang pria yang sering menyenandungkan lirih lagu ini di telinga saya. Di antara malam dan hujan.
Perlu digarisbawahi, ia bersenandung lirih sambil menatap
saya dalam pelukannya. Pelukan yang erat dan rapat. Pelukan dalam dan tidak
ingin kehilangan. Pelukan lapang dan selalu menjadi yang ternyaman.
Sepertinya itu dulu, kini ia bahkan sukar mengingat saya bahkan
untuk hal yang paling gampang sekalipun, nomor ponsel.
Memang, ketika memutuskan untuk mencintainya dari tepi, dari garis yang saya batas sendiri, saya hapus semua nomornya dari ponsel saya. Tapi,
tidak semudah itu. Nomor dan namanya telah hilang, bersih dari ponsel saya. Tetap tidak lenyap dari kepala dan hati saya. Terpatri begitu saja.
Yang mengaku sedang berteduh di bawah teriknya rindu. Jika
kamu sudah lupa, tidak apa. Saya bukan siapa-siapa. Dan siapalah saya, mengharapkan untuk dapat perlakuan beda?
Saya tidak marah, saya cuma… Entahlah... Selama ini saya
sudah diam saja, ketika kamu mengubah kata ‘aku’ menjadi ‘saya’ di setiap
suratmu. Saya sadar, seseorang sedang menjaga jaraknya dengan saya. Yang tidak
dia sadari, bahwa tidak usah dijaga juga toh sudah berjarak dari sananya.
Hmm... Sejak kapan kamu mendahulukan kerja daripada saya?
Janggal rasanya. Entahlah. Saya merasa ada sesuatu yang aneh dengan kamu
belakangan ini. Sudah berusaha saya tepis praduga itu. Namun, semakin saya kuat
menghalaunya, semakin kuat saya diterpanya dalam fakta.
Kamu merindukan waktu yang dulu ataukah seorang saya?
Itu dua hal yang berbeda.
Itu dua hal yang berbeda.
Saya merindukan hal yang telah berubah, yaitu kamu.
Kamu
merindukan hal yang telah berubah, yaitu kenangan.
“Mungkin saat ini kita harus menepi, menikmati luka sendiri-sendiri”
[N]
Surat ini balasan untuk : Kepada Perempuan, yang begitu rindu pada dada kiriku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar