
Entah, ini masih seperti mimpi. Ketika aku terbangun dan mendapati
sesosok yang sangat dicintai sedang terlelap di depan tivi. Ah, maaf sayang. Aku tidak dapat menahan untuk tidak menciumi wajahmu bertubi-tubi.
Sesaat kamu terbangun, dengan wajah menahan kantuk. Aku suka
ekspresi lucu itu. Kamu memang lelaki yang tegar di saat badai, namun masih bisa menampilkan mimik innocent, seperti bayi.
Aku tahu kamu terganggu, sedang pulas dan ada yang mengganggu. Tapi ini lelakiku, yang dalam kondisi seperti sekarang pun ia masih merentangkan pelukannya untukku. Walau terganggu tidurnya.
Aku tahu kamu terganggu, sedang pulas dan ada yang mengganggu. Tapi ini lelakiku, yang dalam kondisi seperti sekarang pun ia masih merentangkan pelukannya untukku. Walau terganggu tidurnya.
Lelakiku, aku selalu merindukan pelukanmu ini. Entah sudah
berapa ratus kali aku katakan dalam surat, dalam doa, dalam tangis. Rupanya
aku belum benar-benar bisa melupakan rasa rinduku terhadap setiap pelukanmu. Dan
aku sudah membuktikan kebenaran perkataanmu, memang benar seperti surat pertamamu sayang, setiap pelukan tak pernah puas melepas rindu. Aku tidak akan pernah puas dan akan
selalu meminta pelukanmu, di dada kiri ini.
Sayang, maaf ya. Jika pagi ini aku sudah menghadiahimu
air mata. Jangan khawatir, ini hanyalah air mata haru. Air mata lega bisa bertemu.
Air mata cinta akan dirimu.
Melihat kamu terlelap sambil memelukku, ada doa yang ku bisik kepada langit pagi, Aku ingin menjadi wanita tangguhmu yang tetap hadir menyapa sebelum pagi menampakan matahari.
Aduh, aku melankolis sekali pagi-pagi.
Bangun sayang, bangun. Sudah tersedia teh manis dan
beberapa buah roti. Lekaslah mandi dan mari kita mengulang semuanya dari tempat
kita pertama bertemu. Pertemuan yang memancing pertemuan-pertemuan berikutnya
tanpa jemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar