Di sini hujan, tidak ada bintang. Kita masih berada di bawah
langit yang sama, sayang. Walaupun
belahan bumi sudah berbeda, aral membentang.
Kamu, yang tak tahu pasti kita berada di mana sekarang. Bukankah di bawah gerimis senja kita pernah berjanji tidak
akan pernah saling melepaskan?
Di langit malam ini, kuntum-kuntum bunga api bermekaran.
Menaburi gundukan dunia yang basah oleh tangisan hujan. Hujan menuntun tangan
saya untuk berziarah ke sebuah makam bernisan ‘kenangan’.
Keseluruhan cerita terputar dalam pelupuk mata yang sembab.
Ada resah, ada gelisah.
Hujan malam hari adalah sepekat-pekat tangisan. Hujan selalu
menyajikan potongan kenangan usang, tentang kehilangan, tentang penantian,
tentang kamu yang tak kunjung datang dan tentang kita yang patah arang.
Saya sedang apa? Berjalan ke mana? Tujuannya apa? Dan akan
kembali ke mana?
Sejatinya itu adalah pertanyaan besar. Dan apakah saya
harus puas dengan jawaban ‘Entahlah’ dari seseorang, yang saya harapkan
jawabannya menenangkan?
Apakah saya harus tetap bersandar pada tiang yang mulai
goyang? Sayalah perahu kecil yang lelah di pengarungan dan ingin pulang, namun
dermaga sandaran sedang diterjang badai. Tidak tahu ke mana akan pulang,
sedangkan laut mulai ganas dan siap menelan kapan saja.
Kamu menunggu saya, saya menunggu kamu. Mungkin itu sebabnya
kita tidak pernah bisa bertemu.
--
Ada yang makin lebat di luar sana, tangisan kehilangan yang makin
merapat. Saya telah tertidur dan terbangun lagi, hujan belum reda dan kamu
belum jua tiba.
Adalah dini hari di mana hujan menemani saya menanti sesuatu
yang tanpa tentu, sebut saja kamu.
Saya sedang belajar mengeja rindu, agar lidah saya tidak
kelu untuk dapat diungkapkan kepadamu. Rindu yang bertahan, dalam panas atau
hujan. Rindu yang membunuh saya pelan-pelan.
Apakah hujan di sana menyampaikan setetes demi setetes
rinduku ke hadapanmu? Apakah kamu akan tetap tersenyum melihat hujan meski kita
telah berada di belahan bumi yang berbeda?
Sesungguhnya saya menanti kamu. Dalam zona abu-abu.
Apakah kamu tahu bahwa saya selalu menunggu dalam sakit
dan tenggelam? Dalam lelah dan berantakan? Kamu pernah tahu disia-siakan? Pernahkah
merasa semua usahamu hampa? Kamu pernah merasa jadi yang tersingkirkan? Kamu
pernah merasa meraih tanpa menggenggam?
Itulah rasa saya sekarang. Jangan bertanya nisan, saya akan mati karam dilamun ombak lautan, karena sudah tidak ada lagi dermaga sandaran.
[N]
Surat ini balasan untuk: Entahlah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar