Pesawat saya landing di Banda Aceh (BTJ). Sebelum
dipersilahkan turun, saya tertegun mendengar pengumuman di pesawat. Biasanya
saya tidak pernah peduli, entahlah sekarang saya sering peduli hal-hal kecil
dan sering melupakan hal-hal besar.
“Selamat datang di Banda Aceh. Selamat berpisah dan sampai jumpa, semoga bertemu kembali.”
Saya tertegun. Mudah sekali ia mengucapkan perpisahan. Iya,
karena perpisahan sebenarnya juga adalah perayaan.
Betul juga.
Betul juga.
Ketika kita merayakan pertemuan dengan sukacita, mengapa tidak kita menyikapi
perpisahan dengan tersenyum senang dan lambaian tangan?
Menurutmu, itu teori. Kenyataannya, tidak ada seorang pun
yang mau meninggalkan dan ditinggalkan seseorang yang dikasihi. Tidak ada
seorang pun yang rela dilupakan dan melupakan seseorang yang dicintai.
Baik, sayang. Pria, pria, pria, hujan, hujan, hujan.
Seandainya kamu ada di sini, saya ingin sekali menggenggam tanganmu dan menaruh
kedua matamu di hadapan. Agar kita berbicara bertatap-tatapan dan kamu bisa
meraba, apa yang saya rasakan.
Kamu lihat mata saya, “Siapa sih yang sudah bisa melupakan?”
Saya tidak bisa lupa, mana mungkin saya bisa lupa selagi
saya belum dianugrahi amnesia?
Apa saya perlu berjalan di rel membiarkan lokomotif kereta api menggilas saya dan menghancurkan otak saya yang penuh namamu? Sering kali saya berpikir bahwa saya perlu ditabrak tronton agar badan saya terlindas dan hati yang selalu meneriakkan namamu menjadi kandas.
Namun, saya masih di sini, belum juga bisa berhasil mati.
“Tolong lihat mata aku, percaya sama aku. Aku -dengan
menaruh tanganku di dadaku- dan kamu -dengan menaruh tanganku di dadamu-, kita
akan bahagia dengan sendirinya dan baik-baik saja.”
Ah, sayangnya saya tidak bisa berkata langsung seperti itu.
Dan saya ingin juga melanjutkan pembicaraan tadi dengan perkataan, “Mungkin kita mencintai karena sama-sama merasa nyaman dan terbiasa. Mungkin itu hanyalah cinta-cinta biasa. Lihat aku, lihat mataku. Percayalah, kamu akan lebih mudah melupakan dan mendapatkan cinta yang baru, sayang.”
Dan saya ingin juga melanjutkan pembicaraan tadi dengan perkataan, “Mungkin kita mencintai karena sama-sama merasa nyaman dan terbiasa. Mungkin itu hanyalah cinta-cinta biasa. Lihat aku, lihat mataku. Percayalah, kamu akan lebih mudah melupakan dan mendapatkan cinta yang baru, sayang.”
--
Sore tadi, langit Banda Aceh cerah menawan. Banyak orang datang kesini
untuk berlibur, bukan seperti saya, berhibur.
Ah ya. Satu hal yang perlu kamu
ketahui, Saya tidak lupa dua puluh tujuh januari, sebuket mawar merah, langit Makassar,
awan cumulus dan Pantai Losari. Itu
keramat dan terpahat, dalam mata, hati dan otak saya.
Seperti katamu, kenangan menikam kita diam-diam. Namun, satu
hal yang perlu kamu ketahui. Saya tidak berusaha untuk melupakanmu. Jangan
pernah menuduh saya sekeji itu.
Biarlah semua kenangan yang selama ini kita ratapi akan
terus menjadi kenangan baik. Tertanam indah berakar kokoh, berbunga setiap
musim hujan dan akan saya petik setiap kuntum itu lalu simpan dalam palung
terdalam dalam samudra cinta yang terkelam.
Jika bunga-bunga dari kenangan yang ada, durinya akan
mencederai saya. Tidak apa, setiap sakit yang saya rasa menyadarkan saya bahwa
saya ternyata masih manusia. Masih memiliki hati untuk dapat merasakan. Saya
pikir hati saya sudah mati, setengah tertinggal di Makassar, setengahnya
jatuh berhamburan di langit saat penerbangan kembali ke Medan.
Saya sangka kemarin saya hanyalah mayat hidup yang
berair mata. Ternyata saya salah, saya masih manusia.
Biar kita cari arah jalan
pulang masing-masing sendiri.
Pria, pria, pria.. Hujan, hujan, hujan.. Kamu hanya perlu
memandang berkeliling. Masih banyak yang menjajakan cinta ranum untuk setiap
tetes hujanmu yang harum.
Jika ini memang cinta yang baik, maka perpisahan sekalipun
akan melahirkan senyuman setiap kali terkenang. Berbahagialah, berbahagialah
dengan perpisahan pasangan jiwaku. Sesungguhnya dengan perpisahan berarti kita
pernah bertemu.
Selamat berpisah, Saya mencintaimu.
[N]
Surat ini balasan untuk: 27 Januari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar