Hujan di Beranda

Hujan di Beranda

Senin, 28 Januari 2013

Berbahagialah!

27 Januari 2013, Pukul 10.30 WIB

Pesawat saya landing di Banda Aceh (BTJ). Sebelum dipersilahkan turun, saya tertegun mendengar pengumuman di pesawat. Biasanya saya tidak pernah peduli, entahlah sekarang saya sering peduli hal-hal kecil dan sering melupakan hal-hal besar.

Selamat datang di Banda Aceh. Selamat berpisah dan sampai jumpa, semoga bertemu kembali.”

Saya tertegun. Mudah sekali ia mengucapkan perpisahan. Iya, karena perpisahan sebenarnya juga adalah perayaan.
Betul juga.

Ketika kita merayakan pertemuan dengan sukacita, mengapa tidak kita menyikapi perpisahan dengan tersenyum senang dan lambaian tangan?

Menurutmu, itu teori. Kenyataannya, tidak ada seorang pun yang mau meninggalkan dan ditinggalkan seseorang yang dikasihi. Tidak ada seorang pun yang rela dilupakan dan melupakan seseorang yang dicintai.

Baik, sayang. Pria, pria, pria, hujan, hujan, hujan. Seandainya kamu ada di sini, saya ingin sekali menggenggam tanganmu dan menaruh kedua matamu di hadapan. Agar kita berbicara bertatap-tatapan dan kamu bisa meraba, apa yang saya rasakan.

Kamu lihat mata saya, “Siapa sih yang sudah bisa melupakan?

Saya tidak bisa lupa, mana mungkin saya bisa lupa selagi saya belum dianugrahi amnesia?

Apa saya perlu berjalan di rel membiarkan lokomotif kereta api menggilas saya dan menghancurkan otak saya yang penuh namamu? Sering kali saya berpikir bahwa saya perlu ditabrak tronton agar badan saya terlindas dan hati yang selalu meneriakkan namamu menjadi kandas.

Namun, saya masih di sini, belum juga bisa berhasil mati.

Tolong lihat mata aku, percaya sama aku. Aku -dengan menaruh tanganku di dadaku- dan kamu -dengan menaruh tanganku di dadamu-, kita akan bahagia dengan sendirinya dan baik-baik saja.”

Ah, sayangnya saya tidak bisa berkata langsung seperti itu.

Dan saya ingin juga melanjutkan pembicaraan tadi dengan perkataan, “Mungkin kita mencintai karena sama-sama merasa nyaman dan terbiasa. Mungkin itu hanyalah cinta-cinta biasa. Lihat aku, lihat mataku. Percayalah, kamu akan lebih mudah melupakan dan mendapatkan cinta yang baru, sayang.

--

Sore tadi, langit Banda Aceh cerah menawan. Banyak orang datang kesini untuk berlibur, bukan seperti saya, berhibur.

Ah ya. Satu hal yang perlu kamu ketahui, Saya tidak lupa dua puluh tujuh januari, sebuket mawar merah, langit Makassar, awan  cumulus dan Pantai Losari. Itu keramat dan terpahat, dalam mata, hati dan otak saya.  

Seperti katamu, kenangan menikam kita diam-diam. Namun, satu hal yang perlu kamu ketahui. Saya tidak berusaha untuk melupakanmu. Jangan pernah menuduh saya sekeji itu.

Biarlah semua kenangan yang selama ini kita ratapi akan terus menjadi kenangan baik. Tertanam indah berakar kokoh, berbunga setiap musim hujan dan akan saya petik setiap kuntum itu lalu simpan dalam palung terdalam dalam samudra cinta yang terkelam.

Jika bunga-bunga dari kenangan yang ada, durinya akan mencederai saya. Tidak apa, setiap sakit yang saya rasa menyadarkan saya bahwa saya ternyata masih manusia. Masih memiliki hati untuk dapat merasakan. Saya pikir hati saya sudah mati, setengah tertinggal di Makassar, setengahnya jatuh berhamburan di langit saat penerbangan kembali ke Medan.

Saya sangka kemarin saya hanyalah mayat hidup yang berair mata. Ternyata saya salah, saya masih manusia. 

Biar kita cari arah jalan pulang masing-masing sendiri.

Pria, pria, pria.. Hujan, hujan, hujan.. Kamu hanya perlu memandang berkeliling. Masih banyak yang menjajakan cinta ranum untuk setiap tetes hujanmu yang harum.

Jika ini memang cinta yang baik, maka perpisahan sekalipun akan melahirkan senyuman setiap kali terkenang. Berbahagialah, berbahagialah dengan perpisahan pasangan jiwaku. Sesungguhnya dengan perpisahan berarti kita pernah bertemu.

Selamat berpisah, Saya mencintaimu.

[N]

Surat ini balasan untuk: 27 Januari

Tidak ada komentar: