Hujan di Beranda

Hujan di Beranda

Kamis, 15 November 2012

Kita Adalah Punggung yang Saling Bertatap


Akhirnya kita berpisah.
Setelah sekian waktu, selalu mengucapkan "Selamat Tinggal" tanpa pernah meninggalkan.
Kali ini, masing-masing kita pergi tanpa pernah berucap lagi.
Berjalan berlawanan arah. Saling membelakangi.
Dan punggung-punggung kita semakin berjalan menjauh.


Langkah saya terhenti. Saya ingin sekali menoleh dan memandangi punggung itu menjauh.
Mungkin untuk yang terakhir kali.

Pernah ada yang berpesan "Jangan pernah menoleh saat perpisahan. Karena jika menoleh, kamu tidak mantap melangkah ke depan. Sebaliknya jalanlah dengan tatapan lurus ke depan."

Saya tidak peduli ambigu atau tidak pesan itu.
Saya tidak peduli akan jalan di depan saat ini.
Karena saat ini, saya memang sedang tidak mantap akan perpisahan.
Saya gamang apakah nantinya saya akan siap tanpa kamu.

Oleh karena itu saya putuskan untuk berhenti di tempat dan menoleh.
Memandangi punggung tempat tangan saya biasa bersarang.
Punggung dengan dada yang empuk dan hangat.
Tempat saya tertawa, menangis dan mengadu di situ.
Punggung yang kokoh yang selalu menjadi perisai saya.

Dan punggung itu semakin menjauh, semakin menjauh, hilang di pandangan.
Menjadi kabur oleh hujan di mata saya.

Suara-suara halus berisik di tempurung kepala saya:

Mungkin pemilik punggung itu sudah tidak memerlukan saya lagi...
Ia sanggup untuk melepaskan rengkuhannya yang selama ini menjadi sayap bagi saya...
Tanpanya, saya hanyalah burung yang tidak dapat terbang. Apalah artinya saya...
Mungkin pemilik punggung itu sudah tidak cinta lagi...
Sudah bosan mendengar cerita saya, sudah bosan berbagi dengan saya, sudah bosan bertemu saya...
Atau mungkin ia sudah bisa dan biasa tanpa saya....
Jangan ditanya, saya tidak demikian adanya...

Dan ada ribuan kemungkinan lainnya yang bergemerincing membikin pusing.

Saya kembalikan pandangan saya ke depan dan berusaha menyeret kaki untuk berjalan.
Badai semakin hebat di mata saya.
Menemani perjalanan sore itu, dengan langit yang kelabu.

Saya berusaha menanamkan satu hal yang nantinya menjadi tunas dan berakar di otak saya:

Ia tidak benar-benar cinta dengan saya, jika ia cinta, ia tidak akan pernah melepas saya dan membiarkan saya pergi.

________________________________________________

Perempuan itu akhirnya kembali berjalan, meski air matanya berurai.
Ia tegakkan kepala menatap lurus ke depan, menantang tangisan.

Satu hal yang tidak perempuan itu ketahui.

Saat ia memalingkan wajah, menangis, lalu menegakkan kepala sambil tetap menangis.
Lelaki dengan punggung kokoh itu sedang berhenti dan menatap punggungnya.
Mendung merebak di mata lelaki itu.

Tidak ada komentar: